BAB II
UNSUR ESTETIKA DALAM ARSITEK
2.1. Mengapa
Arsitek perlu membicarakan estetika?
Tentu saja
perlu dan cukup penting agar estetika bangunan lebih mudah dipahami dengan
suatu alat, karena biasanya estetika ukurannya berbeda bagi setiap orang. Sama
seperti sebuah bahasa, bila tidak ada bahasa, maka pengetahuan tidak
tertularkan. Dalam arsitektur, estetika adalah sebuah bahasa visual, yang tidak
sama dengan beberapa bahasa estetika yang tidak visual, seperti bahasa itu
sendiri. Estetika dalam arsitektur memiliki banyak sangkut paut dengan segala
yang visual seperti permukaan, volume, massa, elemen garis, dan sebagainya,
termasuk berbagai order harmoni, seperti komposisi.
Estetika yang
berbeda dicari untuk mendapatkan pengalaman estetis lain, misalnya turis luar
negeri datang ke Bali. Estetika meskipun berkaitan dengan
‘rasa’ saat melihat bangunan juga dapat dibangun melalui aplikasi teori
arsitektur. Inilah mengapa estetika patut dibahasakan dan dibahas dalam alat
yang bernama komunikasi. Estetika dapat dimengerti dan dikembangkan melalui
pemahaman berbagai hal menyangkut teori estetika, menjadi dasar bagi banyak cabang
seni. Namun melihat berbagai dimensi yang mempengaruhi bagaimana seorang
manusia mengapresiasi keindahan, estetika hanyalah sebuah media untuk mencoba
menjelaskan apa yang disebut indah, namun tidak pernah bisa menjelaskan apa
yang sebenarnya terjadi dalam benak seseorang berkaitan dengan sensasi
keindahan. Dalam teori tentang estetika, dicoba dijelaskan berbagai sisi yang
‘tersentuh’ oleh keindahan sebuah obyek. Jadi, apa yang indah bagi saya belum
tentu indah bagi Anda. Mengapa preferensi berbeda? Apakah melulu hanya sebuah
perbedaan genetika atau faktor psikologis? Sebuah bangunan bisa jadi menarik
bagi seseorang, namun tidak untuk yang lain. Determinasi estetika dalam pikiran
tidak melulu ditumbuhkan melalui faktor-faktor eksternal yang hadir dari luar
seorang subyek, namun juga hadir dari perangkat pengenalan dalam dirinya.
Karenanya arsitektur tidak selalu cukup hanya dipelajari melalui ilmu estetika
yang dangkal dan obyektif semata, perlu pendekatan subyektif untuk mengetahui
sebuah preferensi. Karenanya, arsitek yang berhasil
dengan sebuah obyek arsitektural biasanya berhasil dengan mengetahui lebih jauh
tentang sisi subyektif klien, misalnya dengan proses berbincang-bincang dengan
seorang klien. Ini menjadikan arsitektur yang didasarkan pada intuisi saat
mendesain, selain bisa juga merupakan wadah kreativitas dari implementasi teori
estetika.
Keindahan
memang subyektif, dalam diri setiap orang, pendapat tentang nilai estetika
sebuah bangunan seperti misalnya rumah tinggal, dipengaruhi oleh berbagai hal,
antara lain; subyektifitas diri sendiri. Sensasi hanya dimungkinkan bila fungsi
biologis tubuh kita yang berkaitan dengan fungsi sensasi dan persepsi dalam
keadaan normal; misalnya mata bisa melihat, hidung bisa mencium, pikiran dalam
keadaan normal/perseptif. Mampukah suatu obyek menggairahkan ‘limbic’ dalam
otak kita sehingga merasa adanya kenikmatan saat berkontak dengan sebuah obyek
arsitektural. Kenikmatan yang didapatkan itu menjadikan otak kita mengatakan
sesuatu itu ‘indah’. pengaruh dari lingkungan/masyarakat tentang apa yang
disebut indah. Antara lain: pendidikan : apa yang ditanamkan dunia edukasi
tentang keindahan, mungkin merupakan suatu pandangan yang ditekankan
terus-menerus dan boleh jadi mengakar pada diri kita, serta metode untuk mengapresiasi
suatu obyek juga merupakan suatu metode yang ditekankan secara terus-menerus. opini
yang berkembang di masyarakat. Kebanyakan melalui media, estetika diperkenalkan
sebagai konsensus dalam skala tertentu, apakah regional, kolonial, dan
disebarluaskan dengan berbagai cara. Terkadang estetika yang diperkenalkan
dimaksudkan untuk mendukung sebuah industri terkait tren arsitektur, seperti
industri perumahan. Estetika yang merupakan ideal suatu teritorial berbasis
tradisi juga dapat memberi pengaruh teramat besar.
pilihan yang diberikan oleh
situasi, hanya pilihan yang memungkinkan akan dipilih digunakan dalam rancangan
si arsitek.
No comments: