WHAT’S HOT NOW

ads header

Business

Total Pageviews

Search This Blog

Theme images by kelvinjay. Powered by Blogger.

Life & style

Games

Sports

Estetika Bentuk Bab III


BAB III
PRINSIP ESTETIKA DALAM ARSITEKTUR

3.1. Prinsip – Prinsip
            Prinsip desain atau estetika dalam arsitektur memiliki 7 prinsip yang utama, berikut ini beberapa prinsip estetika dalam arsitektur:
1.    Keseimbangan
2.    Irama
3.    Tekanan / point of interest
4.    Skala
5.    Proporsi
6.    Urut-urutan
7.    Unity/kesatuan
            Untuk lebih jelasnya saya akan menjelaskan secara singkat masing – masing prinsip yang disebutkan diatas.

3.1.1. Keseimbangan
Keseimbangan atau balance adalah suatu kualitas nyata dari setiap obyek dimana perhatian visual dari dua bagian pada dua sisi dari pusat keseimbangan (pusat perhatian) adalah sama.

3.1.2. Irama
Irama adalah elemen desain yang dapat menggugah emosi atau perasaan yang terdalam. Didalam seni visuil irama merupakan suatu obyek yang ditandai dengan sistim pengulangan secara teratur. Cara yang paling meyakinkan untuk mendapatkan irama adalah dengan memberi pola pada keadaan-keadaan tertentu. Pola yang dapat dikenal dan diingat dengan mudah. Contohnya kumpulan titik-titik sembarangan akan sukar untuk diingat letaknya, apabila kumpulan titik-titik tersebut dikelompokkan sedemikian dengan cara pengulangan bentuk yang mudah dikenal, kumpulan tadi satu sama lainnya menjadi berkaitan dan memiliki pola.

3.1.3. Tekanan / Point Of Interest
            Tekanan adalah fokal point atau pusat perhatian dalam sebuah komposisi / bangunan,yaitu berupa area yang pertama kali ditangkap oleh pandangan mata. Tekan ini sangat dominan, bagian-bagian atau kelompok lain dari komposisi atau bangunan

3.1.4. Skala
Skala adalah suatu system pengukuran (alat pengukur) yang menyenangkan,dapat dalam satuan cm, inchi atau apa saja dari unit-unit yang akan diukur. Dalam arsitektur  yang dimaksut dengan skala adalah hubungan harmonis antara bangunan beserta komponen-komponennya dengan manusia. Skala-skala itu ada beberapa jenis yaitu: skala intim, skala manusiawi, skala monumental/megah.

3.1.5.Proporsi
         Menurut Vitruvius proporsi berkaitan dengan keberadaan hubungan tertentu antara ukuran bagian terkecil dengan ukuran keselurahan. Proporsi merupakan hasil perhitungan bersifat rasional dan terjadi bila dua buah perbandingan adalah sama. Proporsi dalam arsitektur adalah hubungan antar bagian dari suatu desain dan hubungan antara bagian dengan keseluruhan.

3.1.6.Urut-Urutan/Sequence
            Menurut H.K Ishar (1992 : 110-121) urut-urutan adalah suatu peralihan atau perubahan pengalaman dalam pengamatan terhadap komposisi.urut-urutan yang baik peralihan atau perpindahan ini mengalir dengan baik, tanpa kejutan yang tak terduga, tanpa perubahan yang mendadak. Tujuan penerapan prinsip urut-urutan seperti dalam arsitektur adalah untuk membimbing pengunjung ketempat yang dituju dan sebagai persiapan menuju klimaks.

3.1.7.Unity/Kesatuan
            Unity/kesatuan adalah keterpaduan yang berarti tersusunnya beberapa unsur menjadi satu kesatuan yang utuh dan serasi.  Dalam hal ini seluruh unsur saling menunjang dan membentuk satu kesatuan yang lengkap, tidak berlebihan, dan tidak kurang. Cara membentuk kesatuan adalah dengan penerapan tema desain. Ide yang dominan akan membentuk kekuatan dalam desain tersebut. Unsur-unsur rupa yang dipilih disusun dengan atau untuk mendukung tema.

Estetika Bentuk Bab II


BAB II
UNSUR ESTETIKA DALAM ARSITEK


2.1. Mengapa Arsitek perlu membicarakan estetika?
Tentu saja perlu dan cukup penting agar estetika bangunan lebih mudah dipahami dengan suatu alat, karena biasanya estetika ukurannya berbeda bagi setiap orang. Sama seperti sebuah bahasa, bila tidak ada bahasa, maka pengetahuan tidak tertularkan. Dalam arsitektur, estetika adalah sebuah bahasa visual, yang tidak sama dengan beberapa bahasa estetika yang tidak visual, seperti bahasa itu sendiri. Estetika dalam arsitektur memiliki banyak sangkut paut dengan segala yang visual seperti permukaan, volume, massa, elemen garis, dan sebagainya, termasuk berbagai order harmoni, seperti komposisi.  
Estetika yang berbeda dicari untuk mendapatkan pengalaman estetis lain, misalnya turis luar negeri datang ke Bali. Estetika meskipun berkaitan dengan ‘rasa’ saat melihat bangunan juga dapat dibangun melalui aplikasi teori arsitektur. Inilah mengapa estetika patut dibahasakan dan dibahas dalam alat yang bernama komunikasi. Estetika dapat dimengerti dan dikembangkan melalui pemahaman berbagai hal menyangkut teori estetika, menjadi dasar bagi banyak cabang seni. Namun melihat berbagai dimensi yang mempengaruhi bagaimana seorang manusia mengapresiasi keindahan, estetika hanyalah sebuah media untuk mencoba menjelaskan apa yang disebut indah, namun tidak pernah bisa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi dalam benak seseorang berkaitan dengan sensasi keindahan. Dalam teori tentang estetika, dicoba dijelaskan berbagai sisi yang ‘tersentuh’ oleh keindahan sebuah obyek. Jadi, apa yang indah bagi saya belum tentu indah bagi Anda. Mengapa preferensi berbeda? Apakah melulu hanya sebuah perbedaan genetika atau faktor psikologis? Sebuah bangunan bisa jadi menarik bagi seseorang, namun tidak untuk yang lain. Determinasi estetika dalam pikiran tidak melulu ditumbuhkan melalui faktor-faktor eksternal yang hadir dari luar seorang subyek, namun juga hadir dari perangkat pengenalan dalam dirinya. Karenanya arsitektur tidak selalu cukup hanya dipelajari melalui ilmu estetika yang dangkal dan obyektif semata, perlu pendekatan subyektif untuk mengetahui sebuah preferensi.  Karenanya, arsitek yang berhasil dengan sebuah obyek arsitektural biasanya berhasil dengan mengetahui lebih jauh tentang sisi subyektif klien, misalnya dengan proses berbincang-bincang dengan seorang klien. Ini menjadikan arsitektur yang didasarkan pada intuisi saat mendesain, selain bisa juga merupakan wadah kreativitas dari implementasi teori estetika.
Keindahan memang subyektif, dalam diri setiap orang, pendapat tentang nilai estetika sebuah bangunan seperti misalnya rumah tinggal, dipengaruhi oleh berbagai hal, antara lain; subyektifitas diri sendiri. Sensasi hanya dimungkinkan bila fungsi biologis tubuh kita yang berkaitan dengan fungsi sensasi dan persepsi dalam keadaan normal; misalnya mata bisa melihat, hidung bisa mencium, pikiran dalam keadaan normal/perseptif. Mampukah suatu obyek menggairahkan ‘limbic’ dalam otak kita sehingga merasa adanya kenikmatan saat berkontak dengan sebuah obyek arsitektural. Kenikmatan yang didapatkan itu menjadikan otak kita mengatakan sesuatu itu ‘indah’. pengaruh dari lingkungan/masyarakat tentang apa yang disebut indah. Antara lain: pendidikan : apa yang ditanamkan dunia edukasi tentang keindahan, mungkin merupakan suatu pandangan yang ditekankan terus-menerus dan boleh jadi mengakar pada diri kita, serta metode untuk mengapresiasi suatu obyek juga merupakan suatu metode yang ditekankan secara terus-menerus. opini yang berkembang di masyarakat. Kebanyakan melalui media, estetika diperkenalkan sebagai konsensus dalam skala tertentu, apakah regional, kolonial, dan disebarluaskan dengan berbagai cara. Terkadang estetika yang diperkenalkan dimaksudkan untuk mendukung sebuah industri terkait tren arsitektur, seperti industri perumahan. Estetika yang merupakan ideal suatu teritorial berbasis tradisi juga dapat memberi pengaruh teramat besar. 
pilihan yang diberikan oleh situasi, hanya pilihan yang memungkinkan akan dipilih digunakan dalam rancangan si arsitek.

Estetika Bentuk Bab I


BAB I
ESTETIKA BENTUK

1.1.      Pengertian
           Kata estetika berasal dari bahasa Yunani aistheticadan aisthesis. Aesthetica adalah hal-hal yang dapat dipersepsi atau dicerap oleh pancaindera,sementara aisthesis adalah pencerapan indera atau persepsi inderawi (Gie, 1983). Selanjutnya istilah ini dipopulerkan oleh Leibniz (1646-1716) sebagai jenis pengetahuan inderawi, untuk membedakannyadengan pengetahuan intelektual, dan Alexander Gottlieb Baumgarten (1714-1762) sebagai kajian tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan keindahan (Sachari 2002:4).Estetika adalah bagian dari atau termasuk ruang lingkup filsafat, yaitu filsafat keindahan. Tetapi padasaat ini, estetika tidak lagi semata-mata bercorak filsafati, melainkan juga sudah sangat ilmiah. Pokok bahasan estetika tidak hanya mengenai masalah keindahan, tetapi sudah meluas meliputi seni dan pengalaman estetis (Gie, 1983:16). Sejalan dengan berkembangnya seni, estetika kemudian diartikan sebagai keindahan yang dihubungkan (terutama) dengan seni. Hal ini tercermin dari definisi estetik yang diberikan oleh Louis Kattsoff dalam ‘Elements of Philosophy’ bahwa estetika adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan keindahan, khususnya seni.
The branch of philosophy which concerns itself with the definition, structure and role of beauty, especially in the arts is called aesthetics (Gie,1983:17). Bahkan dalam perkembangan selanjutnya, Van Meter Ames dalam Collier’s Encyclopedia mempersempit pengertian estetika sebagai kajian tentang penciptaan, apresiasi dan kritik seni.The study of what is involved in the creation,appreciation, and criticism of art; in the relation of art to other human activities and interest; and in the changing role of art in a changing world (Gie, 1983:18).
Estetika kemudian diartikan sebatas filsafat seni,karena keindahan dianggap identik atau berkaitan erat dengan seni (istilah filsafat seni dan keindahan direduksi menjadi filsafat seni saja). Pengertian terbatas ini tidak memuaskan, karena sesungguhnya seni tidak identik dengan keindahan, ataupun sebaliknya. Dengan kata lain, seni tidak harus indah, misalnya lukisan tentang pembakaran kota Roma olehKaisar Nero dan indah tidak selalu berkaitan denganseni, misalnya keindahan pemandangan pantai atau
matahari terbit dan terbenam.Dengan demikian, pengertian yang penting selanjutnya adalah yang berkaitan dengan definisi keindahan. Keindahan adalah kualitas perasaan yang timbul apabila pada waktu mempersepsi suatu benda atau gagasan, di dalam pikiran dan hati perseptor timbul kepuasan tanpa adanya kepentingan apapun.Definisi ini mengacu pada pengertian citarasa dalam filsafat menurut Kant, karena kemampuan untuk menghargai keindahan adalah kemampuan (masalah) cita rasa (taste). Citarasa (taste) adalah kemampuan mental untuk menilai suatu benda atau gagasan dalam hubungannya dengan kepuasan atau ketidakpuasan tanpa adanya suatu kepentingan apapun (Gie,1983:17).
Tetapi pengertian atau makna keindahan di atas belum jelas, karena tidak menyebutkan sumber yang menimbulkan kepuasan, pada waktu mempersepsi suatu benda seni. Kepuasan yang timbul pada waktu apresiator mempersepsi karya seni, tidak hanya timbul dari atau meliputi kepuasan inderawi, tetapi juga pada waktu apresiator memahami sebuah karya seni.Pemahaman di sini timbul pada waktu apresiator dapat “menangkap” pesan yang ingin dikomunikasikan seniman kepada reader; kepuasan timbul pada waktu apresiator dapat mengerti makna yang ada di balik bentuk-bentuk visual, tidak sekedar karena melihat bentuk yang menyenangkan mata.Kata ‘indah’ dalam bahasa Indonesia, ‘beautiful’ dalam bahasa Inggris, ‘beau’ dalam bahasa Perancis, ‘bello’ dalam bahasa Spanyol dan Italia, berasal dari bahasa Latin ‘bellum’. Akar katanya adalah ‘bonum’ yang artinya adalah kebaikan (Gie, 1983:34). Dari etimologi kata dan pengertian awal bangsa Yunani, keindahan adalah kualitas perasaan yang timbul pada waktu reader menangkap ide tentang kebaikan di balik bentuk karya seni, misalnya berkaitan dengan watak dan hukum yang indah (Plato), baik dan menyenangkan (Aristoteles), ilmu dan kebajikan yang indah (Plotinus), buah pikiran dan adat kebiasaan yang indah. Dalam bahasa Yunani, keindahan dalam arti (sekedar) estetis, atau keindahan yang timbul hanya dari penglihatan, memiliki istilah sendiri yang disebut ‘symmetria’. Dalam dunia pragmatis, karena istilah ‘indah’ dapat dipakai untuk menyebut segala sesuatu yang menyenangkan, tidak mengacu pada sebuah criteria nilai yang khusus di bidang yang spesifik, kajian tentang filsafat keindahan tidak lagi menjadi topic bahasan utama dalam estetika, digantikan oleh konsep nilai estetis (Bullough, 1880-1934). Nilai estetis adalah nilai yang berkaitan dengan segala sesuatu yang tercakup dalam pengertian keindahan (Gie, 1983:37). Keindahan dianggap identik dengan nilai estetis. Tetapi dalam perkembangan terakhir, sebagian ahli estetik abad 20 berusaha menyempurnakan konsep tentang keindahan, dan mengembangkan pembagian yang lebih terperinci dan hierarkis seperti indah (beautiful), cantik (pretty), jelita (charming), menarik (attractive) dan lemah gemulai (graceful).Sehingga berbicara tentang nilai, keindahan adalah salah satu nilai estetis, dan nilai estetis memiliki lingkup yang lebih luas (Gie, 1983:39-40).Sebagai cabang filsafat yang mengkaji teori keindahan, estetika menjelaskan bukan hanya ‘apa’ keindahan, tapi juga ‘bagaimana’ keindahan itu, apakah sebuah kualitas (nilai) yang berasal dari benda (estetika obyektif) atau dari pikiran apresiator (estetika subyektif). Teori yang berkembang terakhir adalah kombinasi antara unsur obyektif yang berasal dari bentuk karya dan subyektif yang berasal dari latarbelakang (ground) apresiator. Akhirnya dapat dikemukakan empat buah kriteria dari Johannes Volkelt (1848-1930) untuk menilai kualitas estetis dari sebuah karya seni sebagai berikut (Gie 1983:49-50):
a)      Karya seni (desain) menunjukkan keselarasan antara bentuk dan isi, serta sangat menarik menurut perasaan: perenungan kita terhadapnya diliputi dengan rasa puas
b)      Karya seni (desain) menunjukkan kekayaan akan hal-hal penting yang menyangkut (kehidupan) manusia dan memperbesar (meningkatkan) kehidupan perasaan kita
c)      Karya seni (desain) membawa kita masuk kedalam dunia khayal yang dicita-citakan, dan membebaskan kita dari ketegangan atau suasana realita sehari-hari
d)     Karya seni (desain) menunjukkan suatu kebulatan yang utuh dan mendorong pikiran pada perpaduan mental. Dari kriteria nilai estetis di atas, jelas bahwa nilai sebuah karya seni sangat ditentukan oleh maknanya:
a)      apakah ada makna atau pesan yang disampaikan,daripada sekedar informasi tentang komposisi bentuk dan warna
b)      bagaimana kualitas pesan yang ingin disampaikan, apakah menimbulkan perenungan yang meningkatkan kualitas batin. Dengan demikian, sebuah karya desain akan dinilai tinggi atau dihargai, apabila apresiator dapat memahami konsep yang ada di balik bentuknya, tidak sekedar mengalami kesenangan akibat keindahan visual.

Greenline di Vivo X70 Pro !!! Pengguna Vivo seri X wajib hati - hati!!

Halo semua, saya ingin berbagi cerita tentang Device Vivo X70 Pro yang saya pakai kurang lebih 7 Bulan belakangan, smartphone ini saya beli ...